Pernahkah Anda merenungi makna hidup dan kehidupan yang Anda
jalani selama ini?
Pernahkan terbersit tanya dalam jiwa tentang apa, bagaimana dan
untuk apa kita menjalani kehidupan ini?
Ya, hidup dan kehidupan adalah hal yang mestinya kita maknai
dengan penuh hikmah.
Karena pasti, bahwa Tuhan tidak akan menganugerahkan kehidupan
kepada kita untuk sesuatu yang tidak berarti sama sekali!
Tulisan Anis Matta berikut
ini mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi kita, betapa kehidupan perlu diisi
untuk memberinya makna. Judul artikel aslinya adalah “As-Sibaq (Berpacu)“.
Hidup adalah masa karya. Setiap kita diberi rentang waktu, yang
kemudian kita sebut umur, untuk berkarya.
Harga hidup kita, di mata
kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita.
Maka sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita
adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, ia bukan
milikmu.
Itulah undang-undang kebenaran tentang hakikat waktu. Kita bukan
waktu yang kita miliki. Tapi kita adalah amal yang kita lakukan.
Dalam relung hakikat itulah Allah SWT menurunkan titah-Nya untuk
‘berpacu’ dan ‘berlomba’ dalam medan kehidupan (as-Sibaq).
Hidup ini adalah jalan panjang yang harus kita lalui. Tak
satupun diantara peserta kehidupan itu yang diberitahu dimana dan kapan ia
harus berhenti. Sebab tempat perhentian pertama yang engkau tempati berhenti
adalah ajalmu. Akhir masa karyamu.
Begitulah para sahabat dan semua manusia muslim yang agung dan
besar yang pernah hadir di pelataran sejarah, memahami makna waktu dan hidup,
serta melaluinya dengan semangat perpacuan yang tak pernah dapat digoda oleh
kelelahan.
Apa yang mereka pakai adalah kendaraan jiwa yang seluruh
muatannya adalah makna hidup itu sendiri, serta kehendak yang telah terwarnai
oleh makna itu. Tak ada ruang kosong dalam kendaraan jiwa mereka yang tak
terisi oleh kehendak dan azimah.
Perjuangan, bagi manusia-manusia agung itu, adalah sebuah
instink yang sama kuatnya dengan instink lain dalam diri mereka. Sebab, kata
sastrawan Mesir, Musthofa Shodiq
Ar-Rofi’i, “Rupanya perjuangan itu mempunyai instink yang sanggup
mengubah seluruh kehidupan ini menjadi kemenangan. Sebab setiap anak pikiran
yang hinggap disitu, selalu langsung menjelma jadi pembunuh-pembunuh kekalahan”.
Mengeluh, dalam instink perjuangan mereka, hanyalah sepoi yang
hendak merayu benteng obsesi mereka. Kelelahan, dalam tradisi keagungan mereka,
bagai sebatang lilin yang ingin menghisap gelombang.
Semua yang ada di permukaan bumi ini adalah tanah tempat kaki
kebesarannya mengayuh derap langkah melewati hari-hari.
Dalam semangat perpacuan itu, semua tantangan yang mereka temui
hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru, kecerdasan-kecerdasan baru,
kehendak-kehendak baru.
Inilah rahasia besar yang menyingkap tabir kebesaran sahabat,
tabi’in serta ulama, zu’ama dan mujahidin besar yang pernah menggoreskan tinta
emas dalam sejarah Islam kita.
Banyak diantara mereka yang syahid dalam usia yang teramat muda.
Imam al-Ghazali meninggal dalam usia 45 tahun, Umar bin Abdul Azis dalam usia
39 tahun, dan Hasan al Banna dalam usia 41 tahun. Tapi ‘usia’ mereka bagai
memanjang mengikuti rentang panjang keabadian.
“Sebab ketika jiwa itu kosong, pikirannya akan lebih kosong. Ia
akan terus mencari semua yang akan membuatnya lupa pada sang jiwa. Sedang
manusia agung itu, hidup penuh sepenuh jiwanya,” kata Musthofa Shodiq
Ar-Rofi’i.
Sumber :
http://www.asritadda.com/inspiration/makna-hidup-dan-kehidupan.htm#sthash.5c3WmSPI.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar